PENDIDIKAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Dalam hal pendidikan, menurut berbagai hasil penelitian mutakhir, kita di Indonesia selalu menempati urutan terbawah. Bahkan lebih di bawah dari Vietnam, yang boleh dikatakan baru tahun 80-an memperoleh stabilitas keamanannya setelah berkian tahun berkutat dalam perang saudara habis-habisan dengan mlibatkan secara langsung Amerika Serikat di dalamnya. Ini sebetulnya sebuah ironi, sebab pada awal tahun 70-an, Malaysia—yang saat itu sudah jauh lebih maju dari Vietnam—bahkan masih belajar dari kita. Negeri jiran itu mengundang sangat banyak guru dari Indonesia untuk mengajari mereka. Tetapi sekarang kitalah yang harus belajar kepada mereka.
Itu artinya, di jajaran negara-negara Asia Tenggara, kita di Indonesia terbilang terdahulu dalam menggiatkan dan menggairahkan dunia pendidikan. Pertanyaan mendasarnya kemudian ialah, tetapi kenapa malah kita sekarang yang berada di posisi paling terpuruk dalam hal kualitas pendidikan. Jawabannya pasti bukan soal ekonomi sebab kita pernah mengalami paling tidak tiga hal spektakuler dalam bidang ekonomi. Pertama, kita pernah mengalami oil booming di tahun 70-an, yang hasilnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Kedua, selama masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi kita bertengger rata-rata di kisaran 7 (tujuh) persen per tahun. Angka sebesar itu tentunya punya makna ekonomi yang luar biasa. Ketiga, selama hampir setengah abad komitmen negara-negara donor untuk membantu kita—melalui kerja sama mulitilateral dan unilateral—untuk mendanai pembangunan kita, tidak perlu dipertanyakan. Akumulasi utang luar negeri kita, karenanya, bahkan melampai angka 1000 (seribu) triliun rupiah. Suatu jumlah yang sangat fantastis.
Lalu dimanakah relevansi ketiga poin itu di bidang pendidikan? Hampir tidak ada! Gaji guru sangat memprihatinkan. Kondisi fisik sekolah-sekolah pemerintah amat menyedihkan. Perpustakaan dan laboratorium yang memadai susah ditemukan. Untuk bertahan dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, para pekerja pendidikan terpaksa mengkomersialisasikan semua atribut yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Biaya tinggi di bidang pendidikan menjadi tidak terelakkan. Drop out dari sekolah-sekolah membengkak. Ujung-ujungnya, sumberdaya manusia kita rata-rata berkualitas pembantu rumah tangga. Dan akibat selanjutnya (semacam lingkaran setan), yakni kian banyaknya anak-anak usia sekolah yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah, entah karena tidak terakomodasi atau karena tidak sanggup membayar semuanya atau karena tidak mampu lagi mengikuti irama pendidikan yang sangat berliku tersebut.
Kalau masalahnya bukan pada faktor ekonomi, maka hampir bisa dipastikan keterpurukan kita di bidang pendidikan adalah dikarenakan oleh yang satu ini: minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat pada bidang pendidikan. Dan kalau kondisi ini kita biarkan terus dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa ini 20 tahun ke depan.
(Catatan: tidak ada suatu negara, bangsa dan peradaban—termasuk yang sudah tiada—yang bangkit dan menjadi besar bukan karena pendidikan. Ekonomi penting, tetapi sejarah mengajarkan kita bahwa pendidikanlah yang menjadi pondasi semuanya).